Thursday 16 January 2014

Posted by Unknown
1 comment | 07:24
MAKALAH KECERDASAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah
Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu:
-
  












 Disusun oleh:
Rurul Azmi
NIM. -

 JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013




 
KATA PENGANTAR
 
Dengan mengucapkan syukur alhamdullillah kepada Allah Swt. Atas limpahan kesempatan dan kenikmatan kepada umat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas saya, sebagai salah satu tugas UAS Psikologi Pendidikan yaitu makalah Kecerdasan Spiritual Pada Peserta Didik.
Makalah ini merupakan tanggung jawab saya sebagai mahasiswa UPI ( Universitas Pendidikan Indonesia ). Dan diharapkan makalah ini dapat menjadi referensi bagi para mahasiswa untuk lebih mengetahui tentang Kecerdasan Spiritual Pada Peserta Didik.
Kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, penulis mengucapkan banyak – banyak terima kasih. Semoga makalah ini dapat berguna untuk kita semua dan dapat menjadi referensi buat kita untuk lebih dan lebih menggali ilmu yang berkaitan dengan Psikologi Pendidikan. Amin


                                                                        Bandung, September 2013

                                                                                       Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pendidikan adalah cermin kepribadian bangsa, hal ini tentunya esensial dengan amanat UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Yuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tapi apa yang terjadi pada penerapannya sistem pendidikan pada saat ini yang lebih berorientasi pada pengembangan kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) saja, dimensi kecerdasan yang lain seperti kecerdasan spiritual (SQ) di marginalkan. Padahal, Kecerdasan Intelektual (IQ) dan Kecerdasan Emosional (EQ) sudah kita pahami pengertiannya serta bagaiamana keduanya apabila bersinergi. Namun apabila kedua kecerdasan terebut tidak disinergikan dengan SQ maka bisa berakibat fatal. SQ sendiri bukanlah menjadi “ahli petapa”, duduk termenung dan diam menikmati indahnya spiritualitas.
Seseorang bisa saja sukses dengan mempunyai kecerdasan IQ dan SQ, seorang penipu atau yang lebih popular saat ini adalah para koruptor, tentunya dia harus cerdas dan jago bersrategi, untuk itu diperlukan IQ. Sementara untuk uji “timing” dalam pelaksanaan strategi, bernegosiasi, berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang agar mau di ajak berspekulasi dan berkompromi dengannya di perlukanlah EQ. semangat juang tinggi, mereka selalu tampak prima dan percaya diri namun niat dan ahklaknya sangat buruk, itulah bentuk IQ, EQ bila tidak memiliki SQ.
Bahkan menurut sebuah penelitian, kunci terbesar seseorang adalah dalam EQ yang dijiwai dengan SQ. Banyak orang yang di PHK bukan karna tidak mampu melakukan pekerjaan dengan baik, bukan karna tidak mampu mengoprasikan sesuatu dan bukan karna tidak mampu berkomunikasi dengan baik namun karna mereka tidak memiliki intergritas, tidak jujur, tidak bertangung jawab dan tidak amanah pada pekerjaanya. Itu karena mereka tidak mempunyai keseimbangan dalam tiga kecerdasan IQ , EQ, dan SQ. Ketiga kecerdasan ini, terutama Kecerdasan Spiritual (SQ) harus di sinergikan dengan kondisi pendidikan pada saat ini sehingga kepribadian peserta didik dapat terbentuk dengan baik.

B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Seberapa pentingkah kecerdasan spiritual pada peserta didik dalam dunia pendidikan ?
2.      Apakah pengaruh kecerdasan spiritual pada peserta didik dalam dunia pendidikan ?
3.      Bagaimana mengembangkan kecerdasan spiritual pada peserta didik dalam dunia pendidikan ?

C.     TUJUAN
Adapun beberapa tujuan permasalahan yang dikaji dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui seberapa pentingkah kecerdasan spiritual pada peserta didik dalam dunia pendidikan ?
2.      Untuk mengetahui apakah pengaruh kecerdasan spiritual pada peserta didik dalam dunia pendidikan ?
3.      Untuk mengetahui bagaimana mengembangkan kecerdasan spiritual pada peserta didik dalam dunia pendidikan ?


  
BAB II
PEMBAHASAN

A.    KECERDASAN SPIRITUAL PADA PESERTA DIDIK
Kecerdasan spiritual dibutuhkan oleh setiap individu dalam menjalani kehidupan, termasuk anak-anak dan remaja. Kecerdasan spritual merupakan inti yang dapat menggerakan kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual merepresentasikan motif dasar individu dalam pencarian makna sebagai makhluk. Stephen Covey (2004: 53) mengungkapkan bahwa “Spiritual Intelligence is the central and most fundamental of all the intelligence because it becomes the source of guidance of the other three. Spiritual intelligence represents our drive for meaning and connection with infinite”. Pendapat tersebut menegaskan bahwa kecerdasan spiritual merupakan jembatan yang menghubungkan, menyeimbangkan perkembangan dimensi-dimensi kecerdasan lain yang secara fitrah telah diberikan oleh Yang Maha Pencipta. Selain itu Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapai persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain ( Ary Ginanjar Agustian, 2001: 13). Dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna spiritual terhadap pemikiran, prilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ dengan komperhensif. Oleh karena itu, setiap individu perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas kecerdasan spiritual sebagai salah satu kecakapan hidup yang harus dimiliki.

Perkembangan spiritualitas merupakan proses yang bersifat kontinum dan dinamis, spiritualitas dalam konteks perkembangan anak merupakan proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan, serta seluruh alam semesta.

Konsep interkoneksi tiga kompenen dari Search-Institute (2008) menjelaskan bahwa konsep perkembangan spiritual anak merupakan proses yang bersifat konstan namun sekaligus proses dinamis yang berkesinambungan. Artinya, setiap orang pasti mengalami proses perkembangan spiritual, akan tetapi berbeda dalam proses dan pencapaiannya, hal tersebut akan dipengaruhi oleh interkoneksi ketiga komponen utama dari perkembangan spiritual, yaitu
1)      Kesadaran,
2)      Perasaan saling memiliki dan terhubung satu dengan yang lain, dan
3)      Pandangan dan cara hidup.

Ketiga komponen tersebut akan saling terhubung dalam proses perkembangan spritual anak, akan tetapi perkembangan tiga komponen tersebut akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tumbuh dan berkembang.

Komponen kesadaran  merupakan keadaan dimana individu menjadi lebih peka terhadap keberadaan dirinya, orang lain, dan keseluruhan ciptaan, sebagai wujud dari pencapaian identitas, makna, dan tujuan hidup sebagai makhluk. Komponen rasa saling memiliki dan merasa saling terhubung, adalah sikap untuk selalu mencari, menerima, atau terbuka terhadap pengalaman yang berhubungan dengan interaksi dengan sesama yang mengembangkan kesadaran saling membutuhkan antar sesama manusia, serta kesadaran saling membutuhkan dengan unsur kehidupan lainya, seperti alam, masyarakat, nilai, dan makhluk hidup lainnya, dari perkembangan komponen ini akan mengantarkan pada kesadaran akan kekuatan Sang Maha Pencipta, yang akan memperteguh keyakinan yang akan diwariskan dari waktu kewaktu. Komponen pandangan dan cara hidup, merupakan cara individu mengekspresikan jati diri, hasrat, nilai, pengembangan hubungan dengan sesama, aktivitas-aktivitas yang dipilih untuk membentuk diri sendiri, keluarga, komunitas, masyarakat, dan dunia yang lebih luas, serta pandangan hidup dan pengorbanan.

Berbagai paparan konsep mengenai spiritualitas di atas dapat dipahami bahwa spiritualitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang diperlukan dalam menjalani proses kehidupan. Dalam hal ini, Spiritualitas juga memiliki dampak positif terhadap kehidupan remaja, berdasarkan penelitian. Peneliti telah menemukan bahwa berbagai aspek agama terkait dengan hasil yang positif bagi remaja (Bridgers & Snarey, 2010; King & Roesser, 2009). Agama juga memiliki peran dalam kesehatan remaja dan masalah prilaku mereka (Cotton dkk, 2006). Kebanyakan remaja yang religious menerapkan pesan kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Spiritualitas dalam konteks perkembangan anak merupakan proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan, serta seluruh alam semesta. Perkembangan spiritualitas juga ditandai dengan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan sesama, dan mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa atau kekuatan yang berada di luar dirinya. Spiritualitas juga membantu anak untuk bisa mengekspresikan identitas diri, nilai-nilai dalam proses menjalin hubungan dengan sesama.
           
Dalam kecerdasan spiritual yang dialami peserta didik juga, kita dapat melihat satu persatu tanda-tanda dari SQ yang telah berkembang dengan baik mencakup hal-hal berikut untuk menguji SQ peserta didik
a)      Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif).
b)      Tingkat kesadaran diri yang tinggi.
c)      Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan.
d)     Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
e)      Kemampaun untuk menghadapi melampaui rasa sakit.
f)       Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu.
g)      Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal.
h)      Kecenderungan nyata untuk bertanya “mengapa” atau “bagaimana jika” untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar.  
i)        Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai bidang mandiri yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.

Melalui penggunaan kecerdasan spiritual peserta didik secara utuh terlatih dan melalui kejujuran dan keberanian diri yang dibutuhkan bagi pelatih semacam itu, kita dapat terhubung kembali dengan sumber dan makna terdalam dalam diri peserta didik, peserta didik dapat menggunakan perhubungan itu untuk mencapai tujuan dan proses yang jauh lebih luas.

Perkembangan kecerdasan spiritual akan erat kaitannya dengan perkembangan spiritual, perkembangan penghayatan keagamaan, dan perkembangan keyakinan, serta berbagai aspek perkembangan  lainnya. Hal ini senada dengan penjelasan  Abin Syamsuddin (2007: 105-110) yang menyatakan bahwa perkembangan perilaku keagamaan dalam satu paket dengan perkembangan perilaku sosial dan moralitas. Bahkan, dijelaskan bahwa perkembangan penghayatan keagamaan sejalan dengan perkembangan moralitas dan erat kaitannya dengan perkembangan intelektual, emosional, dan volisional (konatif). Hal ini dimungkinkan karena secara potensial (fitriah) manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) dan makhluk beragama.

Kecerdasan spiritual berkembang bersama fungsi-fungsi kehalusan perasaan (afektif) disertai  kejernihan akal budi (kognitif). Kedua fungsi tersebut mendorong individu untuk mengalami, mempercayai, bahkan meyakini dan menerima tanpa keraguan tentang adanya kekuatan yang Mahaagung yang melebihi apapun termasuk dirinya. Proses inilah yang disebut penghayatan keagamaan atau disebut juga pengalaman religi (the religious experiences) (Tamim, 2009:70).

Perkembangan pengahayatan keagamaan dalam sudut pandang Brigtman (Abin Syamsuddin, 2007: 108) merupakan pengakuan atas keberadaan (the excistence of great power) dan mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang eternal (abadi) yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini.

Pendapat tersebut di atas, menegaskan bahwa perkembangan kecerdasan spiritual sejalan dengan aspek perkembangan lainnya, antara lain perkembangan kognitif, emosi, moral, dan penghayatan keagamaan.  Hyde (Hood, Jr. et.al, 2009: 77) memaparkan bahwa untuk mengkaji perkembangan spiritualitas dan penghayatan keagamaan harus juga mengkaji perkembangan kognitif, “The study of religion in childhood and adolescence has been dominated for thirty years by investigations of the process by which religious thinking develops”. Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan penghayatan keagamaan berhubungan dengan kemampuan individu mencerna dan memaknai informasi, yang menjadi ranah perkembangan kognitif.

Mempertegas konsep perkembangan penghayatan keagamaan, Abin Syamsuddin (2007: 109) menjelaskan bahwa secara kualitatif, karakteristik perkembangan penghayatan keagamaan masa anak sekolah, yaitu rentang 7-8 tahun sampai 11-12 tahun, ditandai dengan
1.      Sikap keagamaan bersifat reseptif disertai dengan pengertan;
2.      Pandangan dan paham ketuhanan diperolehnya secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari keagungan-Nya;
3.      Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan moral.

Boyatzis (Hood, Jr. et.al, 2009: 77) terkait dengan hal ini menjelaskan dengan lebih ekstrim“Although Piaget is no longer held on a pedestal, his influence remains considerable. For many, it is hard to think of religious development in other than cognitive terms”. Sekalipun teori perkembangan kognitif dari Piaget dikembang dengan landasan yang kurang kuat, akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan kognitif dan aspek lainnya, bahkan untuk beberapa alasan, agak sulit mengkaji perkembangan penghayatan keagamaan tanpa menggunakan kajian perkembangan kognitif.

Salah satu teori perkembangan spiritual yang dikembangkan berdasarkan pada teori Piaget digagas oleh Fowler, James W.F (Aliah, 2006:297), teori perkembangan spiritual dalam konteks teori perkembangan Fowler dikenal dengan faith development, dipandang sebagai inti dari perkembangan kecerdasan spiritual. Teori Fowler menjelaskan bahwa sepanjang rentang kehidupan manusia, keimanan sebagai orientasi holistik yang menunjukkan adanya hubungan antara individu dengan alam semesta akan mengalami tahap perkembangan (stages of faith development).

Fowler mengkategorikan perkembangan spiritual menjadi beberapa tahapan, anak usia sekolah dasar akan berada pada tiga tahap (rentang) usia perkembangan keimanan, yaitu 0-7 tahun, 7-11 tahun, dan 11-20 tahun. Pada setahun awal usia anak sekolah dasar, yaitu di usia tujuh tahun masih dikategorikan dalam tahap praoperasional. Pada tahap ini kepercayaan (keimanan) masih bersifat intuitif-proyektif. Ciri karakteristik keimanan masih menganggap khayalan sebagai realitas. Berkaitan dengan hakikat kebenaran, anak pada usia ini akan konsekuen terhadap dirinya sendiri, namun masih memperbandingkan antara sikap percaya dan tidak percaya.

Pada usia tujuh sampai sebelas tahun, yaitu usia yang dianggap murni pada rentang sekolah dasar, dikategorikan dalam tahap pra sampai konkrit operasional. Pada tahap ini kepercayaan (keimanan) bersifat Mythical-Literal. Karakteristik keimanan merupakan hasil penerjemahaman kisah agama secara literal. Berkaitan dengan hakikat kebenaran, anak pada usia ini meyakininya dalam wujud keadilan.

Adapun pada dua tahun terakhir usia sekolah dasar, yaitu usia sebelas sampai dengan tiga belas tahun, dikategorikan pada rentang sebelas sampai dengan dua puluh tahun, yaitu pada tahap formal operasional dan moralitas konvensional. Pada tahap ini, kepercayaan (keimanan) sudah bersifat sintetik-konvensional. Biasanya, karakteristik keimanan individu diwujudkan dalam bentuk kepatuhan terhadap kepercayaan orang lain. Kebenaran ada pada apa yang dikatakan orang lain.

Dalam hal ini, peserta didik dapat menjadikan SQ pedoman saat peserta didik berada diujung masalah eksistensial yang paling menantang dalam hidup berada diluar yang diharapkan dan dikenal, di luar aturan-aturan yang telah diberikan, melampaui pengalaman masa lalu, dan melampaui sesuatu yang kitahadapi. SQ memungkinkan memungkinkan untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain. Dan peserta didik biasanya menggunakan kecerdasan spiritual saat:

a.       Siswa selaku peserta didik behadapan dengan masalah eksistensial seperti saat siswa merasa terpuruk, khawatir, dan masalah masa lalu akibat penyakitdan kesedihan. SQ menjadikan siswa sadar bahwa siswa mempunyai masalah eksistensial yang membuat siswa mampu mengatasinya, atau setidak-tidaknya siswa dapat berdamai dengan masalah tersebut, SQ memberikan siswa rasa yang dalam menyangkut perjuangan hidup.
b.      Siswa menggunkannya untuk menjadi kreatif, siswa menghadirkannya ketika ingin menjadi luwes, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif.
c.       Siswa dapat menggunakan SQ untuk menjadi cerdas secara spiritual dalam beragama, SQ membawa siswa kejantung segala sesuatu, kekesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. 
d.      Siswa menggunakan SQ untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena siswa memiliki potensi untuk itu.
e.       Kecerdasan spiritual memberi siswa suatu rasa yang dapat menyangkut perjuangan hidup.







BAB III
KESIMPULAN & SARAN

A.    KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah, sebagai berikut;
1.      Kecerdasan spritual merupakan inti yang dapat menggerakan kecerdasan lainnya, sehingga sangat dibutuhkan remaja dan anak-anak.
2.      Perkembangan kecerdasan spiritual erat kaitannya dengan perkembangan spiritual, perkembangan penghayatan keagamaan, dan perkembangan keyakinan, serta berbagai aspek perkembangan lainnya.
3.      Setiap individu perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas kecerdasan spiritual sebagai salah satu kecakapan hidup yang harus dimiliki.

B.     SARAN
Adapun saran yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah, sebagai berikut;
1.      Sebagai seorang pendidik, kita harus mengembangkan ketiga kecerdasan diantaranya kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan intelektual (IQ) kepada siswa atau peserta didik sehingga siswa dapat memperoleh kecakapan pribadi yang baik.
2.      Seorang siswa harus selalu mengembangan ketiga kecerdasan ini sehingga siswa dapat berkembang baik itu mentalnya maupun fisiknya dengan baik.






DAFTAR PUSTAKA

Abin, Syamsyudin Makmun. (2003). Psikologi Kependidikan : Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: Rosda.
Chaplin, James P. (2011). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Nurihsan, Achmad Juntika. (2006). Bimbingan & Konseling (Dalam Berbagai Latar Kehidupan). Bandung: Reflika Aditama.
Slavin, Robert E. (2011). Psikologi Pendidikan (Teori dan Praktik). Jakarta: PT.Indeks.
Santrock, John W. (____). Life-Span Development (Perkembangan Masa-Hidup Edisi Ketigabelas Jilid 1). Jakart: Erlangga.
Zohar, Danah, Ian Marshal. (2005). Spiritual Capital. Jakarta: Mizan. [online].
Tersedia:









GLOSARIUM

Dinamis                                   : 1. Penuh semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dsb; mengandung dinamika;
Emotional (Emosional)           : Berkaitan dengan ekspresi emosi, atau dengan perubahan-perubahan yang mendalam yang menyertai emosi. 2. Mencirikan individu yang mudah terangsang untuk menampilkan tingkah laku emosional.
Intellectual (Intelektual)         : Menyinggung soal intelegensi. 2. Mencirikan seseorang dengan minat-minat yang terutama sekali ditujukan kepada ide-ide dan belajar.
Intelligence (Intelegensi)        : 1. Kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. 2. Kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif. 3. Kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali. Ketiga pei proserumusan diatas sama sekali tidak terlepas satu sama lain; Ketiganya hanya menekankan aspek-aspek yang berbeda dari prosesnya. Meskipun orang lebih suka menggunakan pengetesan intelegensi, namun para psikolog merasa sulit untuk mendefinisikan intellegensi secara cepat.
Kecerdasan spiritual                : Kecerdasan Jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif.
Kognitif                                  : Persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional (akal).
Konatif                                    : Perilaku yang sudah sampai tahap hingga individu melakukan sesuatu (perbuatan) terhadap objek.
Spiritual (Spiritual)                  : 1. Berkaitan dengan roh, bersemangat atau jiwa. 2. Religious, yang berhubungan dengan agama, keimanan, kesalehan; menyangkut nilai-nilai transcendental. 3. Bersifat mental, sebagai lawan dari material, fisikal atau jasmaniah.



1 comment:

Jangan lupa komentar anda.
Komentar anda sangat dibutuhkan, untuk meningkatkan kualitas postingan kami .

Please Follow Me !!!

×

Powered By Blogger Widget and Get This Widget