MAKALAH
KECERDASAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata
Kuliah
Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu:
-
Disusun oleh:
Rurul Azmi
NIM. -
JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013
KATA
PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur alhamdullillah kepada Allah Swt.
Atas limpahan kesempatan dan kenikmatan kepada umat-Nya, sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas saya, sebagai salah satu tugas UAS Psikologi Pendidikan
yaitu makalah Kecerdasan Spiritual Pada
Peserta Didik.
Makalah ini merupakan tanggung jawab saya sebagai mahasiswa
UPI ( Universitas Pendidikan Indonesia ). Dan diharapkan makalah ini dapat
menjadi referensi bagi para mahasiswa untuk lebih mengetahui tentang Kecerdasan Spiritual Pada Peserta Didik.
Kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan
makalah ini, penulis mengucapkan banyak – banyak terima kasih. Semoga makalah
ini dapat berguna untuk kita semua dan dapat menjadi referensi buat kita untuk
lebih dan lebih menggali ilmu yang berkaitan dengan Psikologi Pendidikan. Amin
Bandung,
September 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pendidikan adalah cermin kepribadian bangsa, hal ini
tentunya esensial dengan amanat UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang
mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “menciptakan manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Yuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”. Tapi apa yang terjadi pada penerapannya sistem pendidikan
pada saat ini yang lebih berorientasi pada pengembangan kecerdasan intelektual
(IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) saja, dimensi kecerdasan yang lain seperti
kecerdasan spiritual (SQ) di marginalkan. Padahal, Kecerdasan Intelektual (IQ)
dan Kecerdasan Emosional (EQ) sudah kita pahami pengertiannya serta bagaiamana
keduanya apabila bersinergi. Namun apabila kedua kecerdasan terebut tidak
disinergikan dengan SQ maka bisa berakibat fatal. SQ sendiri bukanlah menjadi
“ahli petapa”, duduk termenung dan diam menikmati indahnya spiritualitas.
Seseorang bisa saja sukses dengan mempunyai kecerdasan IQ
dan SQ, seorang penipu atau yang lebih popular saat ini adalah para koruptor,
tentunya dia harus cerdas dan jago bersrategi, untuk itu diperlukan IQ.
Sementara untuk uji “timing” dalam pelaksanaan strategi, bernegosiasi,
berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang agar mau di ajak berspekulasi dan
berkompromi dengannya di perlukanlah EQ. semangat juang tinggi, mereka selalu
tampak prima dan percaya diri namun niat dan ahklaknya sangat buruk, itulah
bentuk IQ, EQ bila tidak memiliki SQ.
Bahkan menurut sebuah penelitian, kunci terbesar seseorang
adalah dalam EQ yang dijiwai dengan SQ. Banyak orang yang di PHK bukan karna
tidak mampu melakukan pekerjaan dengan baik, bukan karna tidak mampu
mengoprasikan sesuatu dan bukan karna tidak mampu berkomunikasi dengan baik
namun karna mereka tidak memiliki intergritas, tidak jujur, tidak bertangung jawab
dan tidak amanah pada pekerjaanya. Itu karena mereka tidak mempunyai
keseimbangan dalam tiga kecerdasan IQ , EQ, dan SQ. Ketiga kecerdasan ini,
terutama Kecerdasan Spiritual (SQ) harus di sinergikan dengan kondisi
pendidikan pada saat ini sehingga kepribadian peserta didik dapat terbentuk
dengan baik.
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Seberapa pentingkah kecerdasan
spiritual pada peserta didik dalam dunia pendidikan ?
2. Apakah pengaruh kecerdasan spiritual
pada peserta didik dalam dunia pendidikan ?
3. Bagaimana mengembangkan kecerdasan
spiritual pada peserta didik dalam dunia pendidikan ?
C.
TUJUAN
Adapun beberapa tujuan permasalahan yang dikaji dari makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui seberapa pentingkah
kecerdasan spiritual pada peserta didik dalam dunia pendidikan ?
2. Untuk mengetahui apakah pengaruh
kecerdasan spiritual pada peserta didik dalam dunia pendidikan ?
3. Untuk mengetahui bagaimana
mengembangkan kecerdasan spiritual pada peserta didik dalam dunia pendidikan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KECERDASAN SPIRITUAL PADA PESERTA
DIDIK
Kecerdasan spiritual
dibutuhkan oleh setiap individu dalam menjalani kehidupan, termasuk anak-anak
dan remaja. Kecerdasan spritual merupakan inti yang dapat menggerakan
kecerdasan lainnya.
Kecerdasan spiritual
merepresentasikan motif dasar individu dalam pencarian makna sebagai makhluk. Stephen
Covey (2004: 53) mengungkapkan bahwa “Spiritual Intelligence is
the central and most fundamental of all the intelligence because it becomes the
source of guidance of the other three. Spiritual intelligence represents our
drive for meaning and connection with infinite”. Pendapat tersebut
menegaskan bahwa kecerdasan spiritual merupakan jembatan yang menghubungkan,
menyeimbangkan perkembangan dimensi-dimensi kecerdasan lain yang secara fitrah
telah diberikan oleh Yang Maha Pencipta. Selain itu Danah Zohar dan Ian
Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk
menghadapai persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain ( Ary Ginanjar Agustian, 2001: 13).
Dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna
spiritual terhadap pemikiran, prilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan
IQ, EQ, dan SQ dengan komperhensif. Oleh karena itu, setiap individu perlu
mengembangkan dan meningkatkan kualitas kecerdasan spiritual sebagai salah satu
kecakapan hidup yang harus dimiliki.
Perkembangan
spiritualitas merupakan proses yang bersifat kontinum dan dinamis,
spiritualitas dalam konteks perkembangan anak merupakan proses perkembangan
kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan,
serta seluruh alam semesta.
Konsep
interkoneksi tiga kompenen dari Search-Institute (2008) menjelaskan bahwa
konsep perkembangan spiritual anak merupakan proses yang bersifat konstan namun
sekaligus proses dinamis yang berkesinambungan. Artinya, setiap orang pasti
mengalami proses perkembangan spiritual, akan tetapi berbeda dalam proses dan
pencapaiannya, hal tersebut akan dipengaruhi oleh interkoneksi ketiga komponen
utama dari perkembangan spiritual, yaitu
1) Kesadaran,
2) Perasaan saling memiliki dan
terhubung satu dengan yang lain, dan
3) Pandangan dan cara hidup.
Ketiga
komponen tersebut akan saling terhubung dalam proses perkembangan spritual
anak, akan tetapi perkembangan tiga komponen tersebut akan sangat dipengaruhi
oleh lingkungan dimana individu tumbuh dan berkembang.
Komponen
kesadaran
merupakan keadaan dimana individu menjadi lebih peka terhadap keberadaan
dirinya, orang lain, dan keseluruhan ciptaan, sebagai wujud dari pencapaian
identitas, makna, dan tujuan hidup sebagai makhluk. Komponen rasa
saling memiliki dan merasa saling terhubung, adalah sikap untuk selalu
mencari, menerima, atau terbuka terhadap pengalaman yang berhubungan dengan
interaksi dengan sesama yang mengembangkan kesadaran saling membutuhkan antar
sesama manusia, serta kesadaran saling membutuhkan dengan unsur kehidupan
lainya, seperti alam, masyarakat, nilai, dan makhluk hidup lainnya, dari
perkembangan komponen ini akan mengantarkan pada kesadaran akan kekuatan Sang
Maha Pencipta, yang akan memperteguh keyakinan yang akan diwariskan dari waktu
kewaktu. Komponen pandangan dan cara hidup, merupakan cara
individu mengekspresikan jati diri, hasrat, nilai, pengembangan hubungan dengan
sesama, aktivitas-aktivitas yang dipilih untuk membentuk diri sendiri,
keluarga, komunitas, masyarakat, dan dunia yang lebih luas, serta pandangan
hidup dan pengorbanan.
Berbagai
paparan konsep mengenai spiritualitas di atas dapat dipahami bahwa
spiritualitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang
diperlukan dalam menjalani proses kehidupan. Dalam hal ini, Spiritualitas juga
memiliki dampak positif terhadap kehidupan remaja, berdasarkan penelitian.
Peneliti telah menemukan bahwa berbagai aspek agama terkait dengan hasil yang
positif bagi remaja (Bridgers & Snarey, 2010; King & Roesser, 2009).
Agama juga memiliki peran dalam kesehatan remaja dan masalah prilaku mereka
(Cotton dkk, 2006). Kebanyakan remaja yang religious menerapkan pesan kasih
sayang dan kepedulian terhadap sesama. Spiritualitas dalam konteks perkembangan
anak merupakan proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan
diri, orang lain dan lingkungan, serta seluruh alam semesta. Perkembangan
spiritualitas juga ditandai dengan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan
sesama, dan mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa atau kekuatan
yang berada di luar dirinya. Spiritualitas juga membantu anak untuk bisa
mengekspresikan identitas diri, nilai-nilai dalam proses menjalin hubungan
dengan sesama.
Dalam kecerdasan spiritual yang
dialami peserta didik juga, kita dapat melihat satu persatu tanda-tanda dari SQ
yang telah berkembang dengan baik mencakup hal-hal berikut untuk menguji SQ
peserta didik
a) Kemampuan bersikap fleksibel
(adaptif secara spontan dan aktif).
b) Tingkat kesadaran diri yang tinggi.
c) Kemampuan untuk menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan.
d) Kualitas hidup yang diilhami oleh
visi dan nilai-nilai.
e) Kemampaun untuk menghadapi melampaui
rasa sakit.
f)
Keengganan untuk menyebabkan
kerugian yang tidak perlu.
g) Kecenderungan untuk melihat
keterkaitan antara berbagai hal.
h) Kecenderungan nyata untuk bertanya
“mengapa” atau “bagaimana jika” untuk mencari jawaban-jawaban yang
mendasar.
i)
Menjadi apa yang disebut oleh para
psikolog sebagai bidang mandiri yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan
konvensi.
Melalui
penggunaan kecerdasan spiritual peserta didik secara utuh terlatih dan melalui
kejujuran dan keberanian diri yang dibutuhkan bagi pelatih semacam itu,
kita dapat terhubung kembali dengan sumber dan makna terdalam dalam diri
peserta didik, peserta didik dapat menggunakan perhubungan itu untuk
mencapai tujuan dan proses yang jauh lebih luas.
Perkembangan kecerdasan spiritual akan erat kaitannya dengan
perkembangan spiritual, perkembangan penghayatan keagamaan, dan perkembangan
keyakinan, serta berbagai aspek perkembangan lainnya. Hal ini senada
dengan penjelasan Abin Syamsuddin (2007: 105-110) yang menyatakan bahwa
perkembangan perilaku keagamaan dalam satu paket dengan perkembangan perilaku
sosial dan moralitas. Bahkan, dijelaskan bahwa perkembangan penghayatan
keagamaan sejalan dengan perkembangan moralitas dan erat kaitannya dengan
perkembangan intelektual, emosional, dan volisional (konatif).
Hal ini dimungkinkan karena secara potensial (fitriah) manusia adalah makhluk
sosial (zoon politicon) dan makhluk beragama.
Kecerdasan
spiritual berkembang bersama fungsi-fungsi kehalusan perasaan (afektif)
disertai kejernihan akal budi (kognitif). Kedua fungsi tersebut mendorong
individu untuk mengalami, mempercayai, bahkan meyakini dan menerima tanpa
keraguan tentang adanya kekuatan yang Mahaagung yang melebihi apapun termasuk
dirinya. Proses inilah yang disebut penghayatan keagamaan atau disebut juga
pengalaman religi (the religious experiences) (Tamim, 2009:70).
Perkembangan
pengahayatan keagamaan dalam sudut pandang Brigtman (Abin Syamsuddin, 2007:
108) merupakan pengakuan atas keberadaan (the excistence of great power)
dan mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang eternal (abadi) yang
mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini.
Pendapat
tersebut di atas, menegaskan bahwa perkembangan kecerdasan spiritual sejalan
dengan aspek perkembangan lainnya, antara lain perkembangan kognitif, emosi,
moral, dan penghayatan keagamaan. Hyde (Hood, Jr. et.al, 2009:
77) memaparkan bahwa untuk mengkaji perkembangan spiritualitas dan penghayatan
keagamaan harus juga mengkaji perkembangan kognitif, “The study of
religion in childhood and adolescence has been dominated for thirty years by
investigations of the process by which religious thinking develops”.
Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan penghayatan keagamaan
berhubungan dengan kemampuan individu mencerna dan memaknai informasi, yang
menjadi ranah perkembangan kognitif.
Mempertegas
konsep perkembangan penghayatan keagamaan, Abin Syamsuddin (2007: 109)
menjelaskan bahwa secara kualitatif, karakteristik perkembangan penghayatan
keagamaan masa anak sekolah, yaitu rentang 7-8 tahun sampai 11-12 tahun,
ditandai dengan
1.
Sikap keagamaan bersifat reseptif
disertai dengan pengertan;
2.
Pandangan dan paham ketuhanan
diperolehnya secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman
pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari keagungan-Nya;
3.
Penghayatan secara rohaniah semakin
mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan moral.
Boyatzis
(Hood, Jr. et.al, 2009: 77) terkait dengan hal ini menjelaskan
dengan lebih ekstrim“Although Piaget is no longer held on a pedestal, his
influence remains considerable. For many, it is hard to think of religious
development in other than cognitive terms”. Sekalipun teori perkembangan
kognitif dari Piaget dikembang dengan landasan yang kurang kuat, akan tetapi
pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan kognitif dan aspek lainnya,
bahkan untuk beberapa alasan, agak sulit mengkaji perkembangan penghayatan
keagamaan tanpa menggunakan kajian perkembangan kognitif.
Salah
satu teori perkembangan spiritual yang dikembangkan berdasarkan pada teori
Piaget digagas oleh Fowler, James W.F (Aliah, 2006:297),
teori perkembangan spiritual dalam konteks teori perkembangan Fowler dikenal
dengan faith development, dipandang sebagai inti dari perkembangan
kecerdasan spiritual. Teori Fowler menjelaskan bahwa sepanjang rentang kehidupan manusia, keimanan
sebagai orientasi holistik yang menunjukkan adanya hubungan antara individu
dengan alam semesta akan mengalami tahap perkembangan (stages of faith
development).
Fowler
mengkategorikan perkembangan spiritual menjadi beberapa tahapan, anak usia
sekolah dasar akan berada pada tiga tahap (rentang) usia perkembangan keimanan,
yaitu 0-7 tahun, 7-11 tahun, dan 11-20 tahun. Pada setahun awal usia anak
sekolah dasar, yaitu di usia tujuh tahun masih dikategorikan dalam tahap
praoperasional. Pada tahap ini kepercayaan (keimanan) masih bersifat
intuitif-proyektif. Ciri karakteristik keimanan masih menganggap khayalan
sebagai realitas. Berkaitan dengan hakikat kebenaran, anak pada usia ini akan
konsekuen terhadap dirinya sendiri, namun masih memperbandingkan antara sikap
percaya dan tidak percaya.
Pada usia
tujuh sampai sebelas tahun, yaitu usia yang dianggap murni pada rentang sekolah
dasar, dikategorikan dalam tahap pra sampai konkrit operasional. Pada tahap ini
kepercayaan (keimanan) bersifat Mythical-Literal. Karakteristik keimanan merupakan
hasil penerjemahaman kisah agama secara literal. Berkaitan dengan hakikat
kebenaran, anak pada usia ini meyakininya dalam wujud keadilan.
Adapun
pada dua tahun terakhir usia sekolah dasar, yaitu usia sebelas sampai dengan
tiga belas tahun, dikategorikan pada rentang sebelas sampai dengan dua puluh
tahun, yaitu pada tahap formal operasional dan moralitas
konvensional. Pada tahap
ini, kepercayaan (keimanan) sudah bersifat sintetik-konvensional. Biasanya,
karakteristik keimanan individu diwujudkan dalam bentuk kepatuhan terhadap
kepercayaan orang lain. Kebenaran ada pada apa yang dikatakan orang lain.
Dalam hal
ini, peserta didik dapat menjadikan SQ pedoman saat peserta didik berada
diujung masalah eksistensial yang paling menantang dalam hidup berada diluar
yang diharapkan dan dikenal, di luar aturan-aturan yang telah diberikan,
melampaui pengalaman masa lalu, dan melampaui sesuatu yang kitahadapi. SQ
memungkinkan memungkinkan untuk menyatukan hal-hal yang bersifat
intrapersonal dan interpersonal serta menjembatani kesenjangan antara diri
sendiri dan orang lain. Dan peserta didik biasanya menggunakan kecerdasan
spiritual saat:
a.
Siswa selaku peserta didik behadapan
dengan masalah eksistensial seperti saat siswa merasa terpuruk, khawatir, dan
masalah masa lalu akibat penyakitdan kesedihan. SQ menjadikan siswa sadar bahwa
siswa mempunyai masalah eksistensial yang membuat siswa mampu mengatasinya,
atau setidak-tidaknya siswa dapat berdamai dengan masalah tersebut, SQ
memberikan siswa rasa yang dalam menyangkut perjuangan hidup.
b. Siswa menggunkannya untuk menjadi
kreatif, siswa menghadirkannya ketika ingin menjadi luwes, berwawasan luas,
atau spontan secara kreatif.
c.
Siswa dapat menggunakan SQ untuk
menjadi cerdas secara spiritual dalam beragama, SQ membawa siswa kejantung
segala sesuatu, kekesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi
nyata.
d. Siswa menggunakan SQ untuk mencapai
perkembangan diri yang lebih utuh karena siswa memiliki potensi untuk itu.
e.
Kecerdasan spiritual memberi siswa
suatu rasa yang dapat menyangkut perjuangan hidup.
BAB III
KESIMPULAN & SARAN
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat
diperoleh dari makalah ini adalah, sebagai berikut;
1. Kecerdasan spritual merupakan inti
yang dapat menggerakan kecerdasan lainnya,
sehingga sangat dibutuhkan remaja dan anak-anak.
2. Perkembangan kecerdasan spiritual
erat kaitannya dengan perkembangan spiritual, perkembangan penghayatan
keagamaan, dan perkembangan keyakinan, serta berbagai aspek perkembangan
lainnya.
3. Setiap individu perlu mengembangkan
dan meningkatkan kualitas kecerdasan spiritual sebagai salah satu kecakapan
hidup yang harus dimiliki.
B.
SARAN
Adapun saran yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah,
sebagai berikut;
1. Sebagai seorang pendidik, kita harus
mengembangkan ketiga kecerdasan diantaranya kecerdasan emosional (EQ),
kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan intelektual (IQ) kepada siswa atau
peserta didik sehingga siswa dapat memperoleh kecakapan pribadi yang baik.
2. Seorang siswa harus selalu
mengembangan ketiga kecerdasan ini sehingga siswa dapat berkembang baik itu
mentalnya maupun fisiknya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abin,
Syamsyudin Makmun. (2003). Psikologi Kependidikan : Perangkat Sistem
Pengajaran Modul. Bandung: Rosda.
Chaplin,
James P. (2011). Kamus Lengkap Psikologi.
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Nurihsan,
Achmad Juntika. (2006). Bimbingan &
Konseling (Dalam Berbagai Latar Kehidupan). Bandung: Reflika Aditama.
Slavin,
Robert E. (2011). Psikologi
Pendidikan (Teori dan Praktik). Jakarta: PT.Indeks.
Santrock, John W. (____). Life-Span Development (Perkembangan
Masa-Hidup Edisi Ketigabelas Jilid 1). Jakart: Erlangga.
Zohar, Danah, Ian Marshal. (2005). Spiritual Capital. Jakarta: Mizan. [online].
Tersedia:
GLOSARIUM
Dinamis : 1. Penuh semangat dan tenaga
sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dsb;
mengandung dinamika;
Emotional (Emosional) : Berkaitan dengan ekspresi emosi,
atau dengan perubahan-perubahan yang mendalam yang menyertai emosi. 2.
Mencirikan individu yang mudah terangsang untuk menampilkan tingkah laku
emosional.
Intellectual (Intelektual) : Menyinggung soal intelegensi. 2.
Mencirikan seseorang dengan minat-minat yang terutama sekali ditujukan kepada
ide-ide dan belajar.
Intelligence (Intelegensi) : 1. Kemampuan menghadapi dan
menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. 2. Kemampuan
menggunakan konsep abstrak secara efektif. 3. Kemampuan memahami
pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali. Ketiga pei proserumusan
diatas sama sekali tidak terlepas satu sama lain; Ketiganya hanya menekankan
aspek-aspek yang berbeda dari prosesnya. Meskipun orang lebih suka menggunakan
pengetesan intelegensi, namun para psikolog merasa sulit untuk mendefinisikan
intellegensi secara cepat.
Kecerdasan spiritual : Kecerdasan Jiwa yang membantu
seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan
kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif.
Kognitif : Persoalan yang menyangkut
kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional (akal).
Konatif : Perilaku yang sudah sampai tahap hingga individu melakukan
sesuatu (perbuatan) terhadap objek.
Spiritual (Spiritual) : 1. Berkaitan dengan roh,
bersemangat atau jiwa. 2. Religious, yang berhubungan dengan agama, keimanan,
kesalehan; menyangkut nilai-nilai transcendental. 3. Bersifat mental, sebagai
lawan dari material, fisikal atau jasmaniah.