Thursday 27 March 2014

Posted by Unknown
No comments | 08:14
PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN
Pilihan pendidikan dan Pekerjaan setelah SMU berasal dari per­kembangan kognitif pada tahun yang lebih awal dan seringkali mempresentasikan peluang pertumbuhan kognisi yang lebih jauh lagi.
Transisi ke Universitas
Pendaftaran ke perguruan tinggi sekarang masih tinggi dan akan terus bertambah, sebagian dikarenakan wanita dengan usia yang lebih tua kembali bersekolah (Snyder & Hoffman, 2002). Pada saat ini, hampir semua lulusan SMU berencana melanjutkan pendidikan mereka, dan hampir 2 dari tiga orang yang melanjutkan langsung ke perguruan tinggi, dibandingkan dengan satu dari dua orang pada tahun 1972 (NCES Digest of Education Statis­tics, 2001).

Pada 1970-an, wanita jarang masuk perguruan tinggi dan jarang yang menyelesaikannya. Pada saat ini, wanita merupakan setengah dari seluruh gelar S1 yang ada. Walaupun demikian, wanita masih cenderung menjadi mayoritas pada lapangan yang secara tradisional "feminin", seperti pendidikan, perawat, dan psikologi. Mayoritas lulusan teknik dan ilmu komputer masih dipegang pria, akan tetapi jurang gender semakin menyempit pada ilmu pengetahuan alam dan semakin mendekat pada matematika dan ilmu fisika (NCES Digest, 2001).
Status sosioekonomi memainkan peran besar pada akses ke pendidikan tinggi. Pada 1999, 76 persen litlusan SMU dari keluarga kelas atas—diban­dingkan 49 persen dari keluarga kelas bawah—segera mendaftar ke pergu­ruan tinggi (NCES Digest, 2001).
Mayoritas mahasiswa mendaftarkan din pada institut bermasa pendi­dikan empat tahun dan memberikan gelar kesarjanaan, dan sebagian besar yang menyelesaikan tahun pertama mereka melanjutkan studi mereka sampai mendapatkan gelar (NCES 1999, 2001). Akan tetapi, pola pendaftar­an telah bergeser sejak 1970; terjadi peningkatan jumlah mahasiswa yang mendaftar kuliah secara paruh waktu atau memasuki program dua tahunan (Seftor & Turner, 2002). Pada 1996, hampir setengah dari semua lulusan SMU yang tidak memasuki perguruan tinggi mendaftarkan diri pada pendi­dikan kejuruan, sebagian besar ke perguruan tinggi komunitas (community college) dan utamanya pada bidang bisnis, kesehatan, dan teknis serta pengetahuan alam (U.S Department of Education, 2000).
Sebagian bes'ar anak muda yang tidak mendaftarkan diri pada pendidik­an tinggi, atau tidak menyelesaikan pendidikannya, memasuki pasar kerja, tapi banyak di antara mereka yang kembali ke sekolah beberapa waktu ke­mudian. Pada 1999, sekitar 39 persen siswa pendidikan tinggi berusia 25 tahun ke atas (Snyder & Hoffman, 2002). Lulusan perguruan tinggi bisa berharap untuk mendapatkan gaji hampir dua kali lipat dari mereka yang hanya memegang ijazah SMU (Day & Newburger, 2002).
Pelajaran perguruan tinggi dan bahkan gelar penuh atau program ber­sertifikat yang tersedia makin banyak yang bisa didapatkan melalui pelajaran jarak jauh, di mana instruktur dan mahasiswa dipisahkan oleh ruang, dan terkadang, waktu. Pelajaran disampaikan melalui surat, e-mail, Internet, telepon, video (langsung maupun rekaman), atau cara teknologi lain (Ma­riani, 2001). Mahasiswa berusia lebih tua, terutama wanita, yang indepen­-den secara keuangan, bekerja penuh waktu, menikah, atau memiliki anak, adalah yang paling banyak mengikuti pelajaran jarak jauh (Sikora & Carroll, 2002).
Bagi anak muda pada masa transisi dari remaja ke dewasa, keterbuka­annya terhadap pendidikan atau lingkungan kerja baru, yang terkadang jauh dari rumahnya, menawarkan peluang untuk mengasah kemampuan­nya,.mempertanyakan asumsi yang sudah dipegang sejak lama, dan men­coba cara baru memandang dunia. Untuk jumlah siswa dengan usia non­tradisional, pendidikan perguruan tinggi atau tempat kerja dapat menyala­kan kembali keingintahuan intelektual, meningkatkan peluang pekerjaan, dan mempertinggi keterampilan kerja.
Pertumbuhan Kognitif di Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi dapat menjadi masa penemuan intelektual dan pertumbuhan kepribadian. Mahasiswa berubah saat merespons terhadap kurikulum yang menawarkan wawasan dan cara berpikir ham; terhadap mahasiswa lain yang berbeda dalam soal pandangan dan nilai; terhadap kultur mahasiswa, yang berbeda dengan kultur pada umumnya; dan terhadap anggota fakultas, yang memberikan model baru.
Pilihan perguruan tinggi dapat mewakili pengejaran terhadap hasrat yang menggebu atau awal dari karier masa depan. Pemilihan tersebut juga cenderung memengaruhi pola berpikir. Dalam studi longitudinal terhadap 165 mahasiswa strata 1, pria dengan jurusan ilmu pengetahuan alam, huma­niora dan pengetahuan sosial menunjukkan peningkatan dalam penalaran sehari-hari mereka pada tahun-tahun senior mereka, akan tetapi pelajaran yang berbeda menghasilkan jenis penalaran yang berbeda pula. Pelajaran dalam ilmu sosial mengarah kepada pemikiran statistik dan metodologis­kemampuan menggeneralisir pola. Mahasiswa dengan fokus studi kepada humaniora dan ilmu pengetahuan alam memiliki pemikiran kondisional yang lebih baik—logika deduktif formal, seperti yang digunakan dalam pemro­graman komputer dan matematika. Kedua kelompok ini juga mengalami peningkatan dalam penalaran verbal—kemampuan untuk menyadari argumen, mengevaluasi bukti, dan mendeteksi analogi (Lehman & Nisbett, 1990).
Di balik peningkatan dalam kemampuan penalaran, pengalaman pergu­ruan tinggi dapat mengarah kepada perubahan fundamental dalam cara mahasiswa berpikir. Dalam sebuah studi klasik, yang mendasari riset yang muncul belakangan, yakni studi tentang pergeseran dalam pemikiran post-formal, William Pery (1970) mewawancarai 67 mahasiswa Harvard dan Radcliffe sepanjang tahun-tahun strata satu mereka dan menemukan bahwa pemikiran mereka bergerak dari rigiditas ke arah fleksibelitas dan akhirnya kepada komitmen yang dipilih secara bebas. Banyak mahasiswa masuk perguruan tinggi dengan ide tentang kebenaran yang kaku; mereka hanya dapat mema­hami jawaban "yang benar" saja. Ketika mahasiswa mene­mukan ide dan sudut pandang yang beraneka ragam, kata Perry, mereka diserang oleh keragu-raguan. Akan tetapi, mereka hanya mempelajari tahap ini secara tern­porer, dan berharap akan belajar menemukan "satu jawaban yang benar" pada akhirnya. Pada tahap berikut­nya, mereka akan melihat semua pengetahuan dan nilai sebagai sesuatu yang relatif. Mereka menyadari bahwa masyarakat yang berbeda dan individu yang berbeda me­miliki sistem nilainya masing-masing. Mereka sekarang menyadari bahwa opini mereka terhadap banyak isu sama validnya dengan opini orang lain, bahkan yang berasal dari orang tua dan guru mereka; sayangnya mereka tidak dapat menemukan makna atau nilai dalam labirin sistem dan keyakinan ini. Chaos telah menggantikan keteraturan. Akhirnya, mereka mencapai komitmen dalam relativisme: Mereka membuat penilaian mereka sendiri dan memiliki keyakinan serta nilai mereka sendiri, juga mengalami ketidakpas­tian dan kesadaran akan kemungkinan validitas opini orang lain—yang merupakan aspek kunci dari pemikiran postformal.
Apakah mahasiswa dapat diajarkan untuk menggunakan pemikiran postformal? Sinnott (1998) telah mengembangkan metode spesifik untuk melakukan hal tersebut. Menciptakan sistem pemeringkat dengan cara brainstorming untuk mendesain proyek riset yang memperdebatkan perta­nyaan mendasar tentang makna hidup, mempresentasikan argumen dalam simulasi pengadilan, dan mencoba menemukan beberapa penjelasan untuk peristiwa, merupakan beberapa cara yang bisa dilakukan para instruktur untuk dapat menolong mahasiswa menyadari bahwa ada lebih dari satu cara menilai dan memecahkan masalah, untuk menghargai logika sistem kompetensi; dan melihat kebutuhan mendasar untuk berkomitmen.
Memasuki Dunia Kerja
Berbarengan dengan meningkatnya petumbuhan kognitif, pendidikan me­ngembangkan peluang pekerjaan dan kemungkinan mendapatkan uang. Pekerjaan yang tumbuh paling cepat dan memberikan gaji terbaik biasanya mensyaratkan minimal strata satu (Bureau of Labor Standards, 2000, 2001). Pada tahun 2000, rata-rata penghasilan pemegang gelar sarjana ($46.300) adalah lebih besar dua kali lipat dari pendapatan pemegang ijazah SMU ($21.400), dan mereka yang bergelar profesional mendapatkan penghasilan tiga setengah kali lipat lebih banyak (Bureau of Labor Standards, 2002). Bahkan dalam ekonomi yang sedang booming, pada pertengahan 1999, tingkat pengangguran orang dewasa usia 25 tahun ke atas yang hanya lulus SMU dua kali lipat lebih banyak—tiga kali lipat bagi mereka yang keluar dari SMU— dibandingkan lulusan perguruan tinggi (Bureau of La­bor Statistics, 1999c).
Rata-rata, untuk setiap dolar yang didapat oleh pria AS., wanita yang ,bekerja penuh waktu hanya mendapatkan 76 sen. Akan tetapi, gambaran ini menjadi lebih cerah bagi wanita berpendidikan perguruan tinggi; penda­patan mereka (setelah disesuaikan dengan inflasi) meningkat 30,4 persen sejak 1979, sedangkan pria berpendidikan perguruan tinggi hanya mening­kat 16,7 persen. Jurang gender dalam pemasukan tetap ada pada kelompok usia yang lebih tua; wanita muda berusia 20 sampai 24 tahun bisa menda­patkan penghasilan hampir sebanyak rekan pria mereka (91,9 persen), mengindikasikan bahwa jurang ini mungkin bisa semakin menyempit ketika kelompok ini bergerak ke atas dalam dunia kerja (Bureau of Labor Statis­tics, 2001a).
Diperkirakan sepertiga mahasiswa penuh waktu (full-time) dan dua pertiga mahasiswa paruh waktu (part-time) bekerja untuk membantu mem ayar uang kuliah mereka. Bagaimana bekerja sambil belajar dapat meme­ngaruhi perkembangan kognitif dan persiapan karier? Sebuah studi longi­tudinal meneliti sampel acak pendapatan mahasiswa usia 23 tahun yang duduk di tahun ke dua dan keempat perguruan tinggi di 16 negara bagian sepanjang tiga tahun pertama mereka di perguruan tinggi tersebut. Tiap tahun mahasiswa mengikuti ujian keterampilan membaca, pemikiran mate­matis, dan pemikiran kritis. Sepanjang dua tahun pertama, bekerja sambil kuliah atau tidak bekerja sama sekali hanya memiliki sedikit efek atau tidak memiliki efek sama sekali terhadap hasil tes. Pada tahun ketiga, mereka yang bekerja paruh waktu memiliki efek positif, mungkin dikarena­kan pekerjaan memaksa mahasiswa untuk mengorganisir waktu mereka secara efisien dan belajar kebiasaan bekerja yang lebih baik. Akan tetapi, bekerja di dalam kampus lebih dari 15 jam per minggu atau bekerja di luar kampus lebih dari 20 jam per minggu cenderung menimbulkan penga­ruh negatif (Pascarella, Edison, Nora, Hagedorn, & Terenzini, 1998).
Proporsi yang lebih tinggi-80 persen—mahasiswa pasta sarjana dan profesional bekerja, 63 persen di antara mereka bekerja penuh waktu dan berkesinambungan. Sekitar 70 persen mahasiswa yang bekerja menyatakan bahwa pekerjaan membantu mereka mempersiapkan karier. Akan tetapi, mereka juga melaporkan kemunduran, seperti keterbatasan terhadap jadwal dan jumlah serta pilihan kelas (Snyder & Hoffman, 2002).
Kompleksitas Kognitif Pekerjaan
Sifat pekerjaan sedang berubah. Pada 2000, ada sekitar empat kali lipat orang Amerika yang berada di pekerjaan sektor jasa dan retail (61 juta te­naga kerja) dibandingkan yang berada di manufaktur (18,4 juta) (Bureau of Labor Statistics, 2001b). Kesepakatan kerja menjadi lebih bervariasi dan kurang stabil. Semakin banyak orang dewasa yang berwiraswasta, bekerja di rumah, telecommuting, atau jadwal kerja yang fleksibel, atau bertindak sebagai kontraktor independen (Clay, 1998; McGuire, 1998; Bureau of Labor Statistics, 1998).
Apakah orang berubah sebagai hasil jenis pekerjaan yang mereka laku­kan? Sebagian riset menjawab "ya": orang-orang tampaknya tumbuh dalam pekerjaan yang menantang, jenis yang menjadi semakin umum pada sat ini. Kombinasi dari studi lintas seksional dan studi longitudinal (Kohn, 1980) mengungkapkan hubungan resiprokal antara kompleksitas substantif pekerjaan—tingkat pemikiran dan penilaian independen—dan fleksibelitas seseorang dalam menghadapi tuntutan kognitif (Kohn, 1990).
Riset otak memberikan penjelasan bagaimana orang menghadapi pe­kerjaan yang kompleks. Perkembangan yang sempurna dalam lobus frontal pada masa dewasa awal telah memungkin orang untuk melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu. Magnetic resonance imaging mengungkapkan bagian paling depan lobus frontal, fronto-polar prefrontal cortex (FPPC), memiliki fungsi khusus dalam memecahkan masalah dan perencanaan.
FPpC mewujud menjadi tindakan ketika orang tersebut ingin "menunda" tugas yang belum terselesaikan dan memindahkan perhtian ke tugas lain­sebuah proses yang disebut branching. FPPC memungkinkan seseorang untuk menjaga pekerjaan pertamanya terus bekerja claim memori ketika melakukan pekerjaan yang kedua—misalnya, untuk melanjutkan pemba­caan laporan setelah terpotong oleh telepon (Koechlin, Basso, Pietrini, Panzer, & Grafman, 1999).
Pertumbuhan kognitif tidak berhenti pada akhir hari kerja. Merujuk hipotesis spillover (perembesan), kognisi yang didapat dari kerja terus dibawa hingga jam di luar jam kerja. Studi mendukung hipotesI ini: kompleksitas substantif pekerjaan amat memengaruhi level intelektual aktivitas bersantai (Kohn, 1980; K. Miller & Kohn, 1983).
Pendidikan dan Literasi Orang Dewasa
Sekitar 48 persen orang dewasa di Amerika Serikat berpartisipasi dalam aktivitas pendidikan. Tiga dari empat orang inengambil pelajaran dari in­stitusi perguruan tinggi dan sisinya dari organisasi bisnis atau yang lainnya (NCES Digest, 2001.
Banyak orang dewasa ini yang berusaha meningkatkan keterampilan kerja mereka. Banyak pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan pekerjaan ini yang didukung oleh perusahaan (Kopka, Schantz, & Korb, 1998)—dan demi alasan yang bagus. Sebagian besar pekerjaan, terutama yang bergaji besar, yang tidak mensyaratkan gelar kesarjanaan, mensyarat­kan pelatihan kerja (Bureae of Labor Standars, 2000-2001). Perusahaan melihat keuntungan dari pendidikan di tempat kerja dalam meningkatkan moral, kualitas kerja yang meningkat, kerja tim dan pemecahan masalah yang semakin baik, dan kemampuan yang makin besar dalam menguasai teknologi barn dan perubahan lain di tempat kerja. Para pekerja juga menda­patkan manfaat dalam keterampilan dasar seperti membaca, berhitung, dan pemikiran kritis (Conference Board, 1999).
Literasi merupakan persyaratan fundamental untuk berpartisipasi bukan hanya di tempat kerja tapi juga dalam segala segi masyarakat infor­masi modern. Orang dewasa terpelajar adalah mereka yang dapat menggu­nakan informasi cetak dan tertulis untuk beraktivitas dalam masyarakat, mencapai target mereka, dan mengembangkan pengetahuan dan potensi rnereka. Pada akhir abad yang lalu, seseorang yang berada di tingkat ke­empat sudah dipandang terpelajar; pada saat ini, tamatan SMA saja sudah hampir tidak dapat dikategorikan terpelajar.
Hampir setengah orang dewasa AS. tidak dapat memahami materi tertulis, memanipulasi angka, dan menggunakan dokumen cukup baik untuk dapat sukses dalam ekonomi saat ini. Temuan ini bersumber dari analisa survei internasional dan nasional yang dilakukan Educational Test­ing Service (ETS) sepanjang 1990-an (Sum, Kirsch, & Taggart, 2002).
Dalam perbandingan literasi orang dewasa di 17 negara industrialis ber-pendapatan tinggi, kinerja orang dewasa AS hanya sedang-sedang saja, sedikit lebih tinggi dari rata-rata negara yang betpartisipasi.• Kenyataan ini benar adanya walaupun AS. memberikan anggaran lebih besar pada pendidikan dibandingkan hampir seluruh negara partisipan (Sum et at., 2002) dan memiliki tingkat lulusan pendidikan tinggi yang lebih tinggi dibandingkan banyak negara partisipan lain (NCES Digest, 2001).
Survei literasi mengungkapkan disparitas internal yang sangat lebar. AS. diperingkatkan hampir pada puncak negara-negara dengan orang de­wasa berliterasi terendah tapi pada saat yang sama juga pada orang dewasa berliterasi paling tinggi (Sum et al., 2002).
Sebagaimana yang diperkirakan, survei internasional tersebut meng­ungkapkan bahwa literasi berkaitan langsung dengan status pekerjaan dan pendapatan; pekerja yang kurang terpelajar berada di pekerjaan kasar atau menganggur atau keluar dari tenaga kerja; sedangkan mereka dengan ting­kat literasi yang tinggi memegang posisi profesional atau manajerial (Bin­kley, Matheson, & Williams, 1997). Bagi pelaku ujian AS., faktor tunggal terpenting dalam literasi adalah level pencapaian pendidikan, dan dispa­ritas yang didasarkan pada pendidikan lebih besar dibandingkan negara lain. Lulusan perguruan tinggi AS. melakukan tes literasi dengan lebih baik dibandingkan lulusan perguruan tinggi di negara lain kecuali Belgia; akan tetapi mereka yang berhenti sekolah di AS. melakukannya lebih buruk dibandingkan negara berpenghasilan tinggi Iainnya (NCES, 1999).
Secara global, hampir satu miliar orang dewasa masih buta huruf (UNESCO, 1998). Buta huruf biasnaya umum ditemukan di kalangan wanita di negara berkembang, di mana pendidikan dianggap tidak penting bagi perempuan. Pada 1990, PBB meluncurkan program pemberantasan buta huruf di negara berkembang seperti Bangladesh, Nepal, Somalia (Linder, 1990). Di AS., National Lieteracy Act mengharuskan negara bagian mendirikan pusat pelatihan dengan bantuan dana federal.
Melek teknologi semakin merupakan keharusan untuk mendapatkan kesuksesan di dunia modern. Peningkatan dalam penggunaan Internet merupakan fenomena global. Lebih dari setengah orang Amerika menggu­nakan Internet, dan lebih dari dua juta orang go-online pertama kali dalam satu bulan. Dalam satu tahun, antara Agustus 2000 dan September 2001, penggunaan internet pada tempat bekerja di kalangan pekerja dewasa berusia 25 tahun meningkat dari 26,1 persen menjadi 41,7 persen. Orang dewasa awal dan pertengahan berkecenderungan lebih besar menggunakan internet dan e-mail di tempat kerja dibandingkan pekerja dengan usia yang lebih tua (Department of Commerce, 2002).

0 comments:

Post a Comment

Jangan lupa komentar anda.
Komentar anda sangat dibutuhkan, untuk meningkatkan kualitas postingan kami .

Please Follow Me !!!

×

Powered By Blogger Widget and Get This Widget