Pilihan pendidikan dan
Pekerjaan setelah SMU berasal dari perkembangan kognitif pada tahun yang lebih
awal dan seringkali mempresentasikan peluang pertumbuhan kognisi yang lebih
jauh lagi.
Transisi ke Universitas
Pendaftaran ke perguruan tinggi sekarang
masih tinggi dan akan terus bertambah, sebagian dikarenakan wanita dengan usia
yang lebih tua kembali bersekolah (Snyder & Hoffman, 2002). Pada saat ini,
hampir semua lulusan SMU berencana melanjutkan pendidikan mereka, dan hampir 2
dari tiga orang yang melanjutkan langsung ke perguruan tinggi, dibandingkan
dengan satu dari dua orang pada tahun 1972 (NCES Digest of Education Statistics,
2001).
Pada 1970-an, wanita jarang masuk perguruan tinggi dan jarang yang
menyelesaikannya. Pada saat ini, wanita merupakan setengah dari seluruh gelar
S1 yang ada. Walaupun demikian, wanita masih cenderung menjadi mayoritas pada
lapangan yang secara tradisional "feminin", seperti pendidikan, perawat, dan psikologi. Mayoritas lulusan teknik dan ilmu
komputer masih dipegang pria, akan tetapi jurang gender semakin menyempit pada
ilmu pengetahuan alam dan semakin mendekat pada matematika dan ilmu fisika
(NCES Digest, 2001).
Status sosioekonomi
memainkan peran besar pada akses ke pendidikan tinggi. Pada 1999, 76 persen
litlusan SMU dari keluarga kelas atas—dibandingkan 49 persen dari keluarga
kelas bawah—segera mendaftar ke perguruan tinggi (NCES Digest, 2001).
Mayoritas
mahasiswa mendaftarkan din pada institut bermasa pendidikan empat tahun dan
memberikan gelar kesarjanaan, dan sebagian besar yang menyelesaikan tahun
pertama mereka melanjutkan studi mereka sampai mendapatkan gelar (NCES 1999,
2001). Akan tetapi, pola pendaftaran telah bergeser sejak 1970; terjadi
peningkatan jumlah mahasiswa yang mendaftar kuliah secara paruh waktu atau
memasuki program dua tahunan (Seftor & Turner, 2002). Pada 1996, hampir
setengah dari semua lulusan SMU yang tidak memasuki perguruan tinggi
mendaftarkan diri pada pendidikan kejuruan, sebagian besar ke perguruan tinggi
komunitas (community college) dan utamanya pada bidang bisnis,
kesehatan, dan teknis serta pengetahuan alam (U.S Department of Education,
2000).
Sebagian
bes'ar anak muda yang tidak mendaftarkan diri pada pendidikan tinggi, atau
tidak menyelesaikan pendidikannya, memasuki pasar kerja, tapi banyak di antara
mereka yang kembali ke sekolah beberapa waktu kemudian. Pada 1999, sekitar 39
persen siswa pendidikan tinggi berusia 25 tahun ke atas (Snyder & Hoffman,
2002). Lulusan perguruan tinggi bisa berharap untuk mendapatkan gaji hampir dua
kali lipat dari mereka yang hanya memegang ijazah SMU (Day & Newburger,
2002).
Pelajaran
perguruan tinggi dan bahkan gelar penuh atau program bersertifikat yang
tersedia makin banyak yang bisa didapatkan melalui pelajaran jarak jauh,
di mana instruktur dan mahasiswa dipisahkan oleh ruang, dan terkadang,
waktu. Pelajaran disampaikan melalui surat, e-mail, Internet, telepon, video
(langsung maupun rekaman), atau cara teknologi lain (Mariani, 2001). Mahasiswa
berusia lebih tua, terutama wanita, yang indepen-den secara keuangan, bekerja
penuh waktu, menikah, atau memiliki anak, adalah yang paling banyak mengikuti
pelajaran jarak jauh (Sikora & Carroll, 2002).
Bagi anak muda pada masa transisi dari remaja ke dewasa,
keterbukaannya terhadap pendidikan atau lingkungan kerja baru, yang terkadang
jauh dari rumahnya, menawarkan peluang untuk mengasah kemampuannya,.mempertanyakan
asumsi yang sudah dipegang sejak lama, dan mencoba cara baru memandang dunia.
Untuk jumlah siswa dengan usia nontradisional, pendidikan perguruan tinggi
atau tempat kerja dapat menyalakan kembali keingintahuan intelektual,
meningkatkan peluang pekerjaan, dan mempertinggi keterampilan kerja.
Pertumbuhan Kognitif di Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi dapat
menjadi masa penemuan intelektual dan pertumbuhan kepribadian. Mahasiswa
berubah saat merespons terhadap kurikulum yang menawarkan wawasan dan cara
berpikir ham; terhadap mahasiswa lain yang berbeda dalam soal pandangan dan
nilai; terhadap kultur mahasiswa, yang berbeda dengan kultur pada umumnya; dan
terhadap anggota fakultas, yang memberikan model baru.
Pilihan perguruan tinggi dapat mewakili
pengejaran terhadap hasrat yang menggebu atau awal dari karier masa depan.
Pemilihan tersebut juga cenderung memengaruhi pola berpikir. Dalam studi
longitudinal terhadap 165 mahasiswa strata 1, pria dengan jurusan ilmu
pengetahuan alam, humaniora dan pengetahuan sosial menunjukkan peningkatan
dalam penalaran sehari-hari mereka pada tahun-tahun senior mereka, akan tetapi
pelajaran yang berbeda menghasilkan jenis penalaran yang berbeda pula.
Pelajaran dalam ilmu sosial mengarah kepada pemikiran statistik dan
metodologiskemampuan menggeneralisir pola. Mahasiswa dengan fokus studi
kepada humaniora dan ilmu pengetahuan alam memiliki pemikiran kondisional yang
lebih baik—logika deduktif formal, seperti yang digunakan dalam pemrograman
komputer dan matematika. Kedua kelompok ini juga mengalami peningkatan dalam
penalaran verbal—kemampuan untuk menyadari argumen, mengevaluasi bukti,
dan mendeteksi analogi (Lehman & Nisbett, 1990).
Di balik peningkatan dalam kemampuan
penalaran, pengalaman perguruan tinggi dapat mengarah kepada perubahan
fundamental dalam cara mahasiswa berpikir. Dalam sebuah studi klasik, yang
mendasari riset yang muncul belakangan, yakni studi tentang pergeseran dalam
pemikiran post-formal, William Pery (1970) mewawancarai 67 mahasiswa Harvard
dan Radcliffe sepanjang tahun-tahun strata satu mereka dan menemukan bahwa
pemikiran mereka bergerak dari rigiditas ke arah fleksibelitas dan
akhirnya kepada komitmen yang dipilih secara bebas. Banyak mahasiswa
masuk perguruan tinggi dengan ide tentang kebenaran yang kaku; mereka hanya
dapat memahami jawaban "yang benar" saja. Ketika mahasiswa menemukan
ide dan sudut pandang yang beraneka ragam, kata Perry, mereka diserang oleh
keragu-raguan. Akan tetapi, mereka hanya mempelajari tahap ini secara ternporer,
dan berharap akan belajar menemukan "satu jawaban yang benar" pada
akhirnya. Pada tahap berikutnya, mereka akan melihat semua pengetahuan dan
nilai sebagai sesuatu yang relatif. Mereka menyadari bahwa masyarakat yang
berbeda dan individu yang berbeda memiliki sistem nilainya masing-masing.
Mereka sekarang menyadari bahwa opini mereka terhadap banyak isu sama validnya
dengan opini orang lain, bahkan yang berasal dari orang tua dan guru mereka;
sayangnya mereka tidak dapat menemukan makna
atau nilai dalam labirin sistem dan keyakinan ini. Chaos telah menggantikan
keteraturan. Akhirnya, mereka mencapai komitmen dalam relativisme: Mereka
membuat penilaian mereka sendiri dan memiliki keyakinan serta nilai mereka
sendiri, juga mengalami ketidakpastian dan kesadaran akan kemungkinan
validitas opini orang lain—yang merupakan aspek kunci dari pemikiran
postformal.
Apakah mahasiswa dapat
diajarkan untuk menggunakan pemikiran postformal? Sinnott (1998) telah
mengembangkan metode spesifik untuk melakukan hal tersebut. Menciptakan sistem
pemeringkat dengan cara brainstorming untuk mendesain proyek riset yang
memperdebatkan pertanyaan mendasar tentang makna hidup, mempresentasikan
argumen dalam simulasi pengadilan, dan mencoba menemukan beberapa penjelasan
untuk peristiwa, merupakan beberapa cara yang bisa dilakukan para instruktur
untuk dapat menolong mahasiswa menyadari bahwa ada lebih dari satu cara menilai
dan memecahkan masalah, untuk menghargai logika sistem kompetensi; dan melihat
kebutuhan mendasar untuk berkomitmen.
Memasuki Dunia Kerja
Berbarengan dengan meningkatnya petumbuhan
kognitif, pendidikan mengembangkan peluang pekerjaan dan kemungkinan
mendapatkan uang. Pekerjaan yang tumbuh paling cepat dan memberikan gaji
terbaik biasanya mensyaratkan minimal strata satu (Bureau of Labor Standards,
2000, 2001). Pada tahun 2000, rata-rata penghasilan pemegang gelar sarjana
($46.300) adalah lebih besar dua kali lipat dari pendapatan pemegang ijazah SMU
($21.400), dan mereka yang bergelar profesional mendapatkan penghasilan tiga setengah
kali lipat lebih banyak (Bureau of Labor Standards, 2002). Bahkan dalam ekonomi
yang sedang booming, pada pertengahan 1999, tingkat pengangguran orang dewasa
usia 25 tahun ke atas yang hanya lulus SMU dua kali lipat lebih banyak—tiga
kali lipat bagi mereka yang keluar dari SMU— dibandingkan lulusan perguruan
tinggi (Bureau of Labor Statistics, 1999c).
Rata-rata, untuk
setiap dolar yang didapat oleh pria AS., wanita yang ,bekerja penuh waktu hanya
mendapatkan 76 sen. Akan tetapi, gambaran ini menjadi lebih cerah bagi wanita
berpendidikan perguruan tinggi; pendapatan mereka (setelah disesuaikan dengan
inflasi) meningkat 30,4 persen sejak 1979, sedangkan pria berpendidikan
perguruan tinggi hanya meningkat 16,7 persen. Jurang gender dalam pemasukan tetap
ada pada kelompok usia yang lebih tua; wanita muda berusia 20 sampai 24 tahun
bisa mendapatkan penghasilan hampir sebanyak rekan pria mereka (91,9 persen),
mengindikasikan bahwa jurang ini mungkin bisa semakin menyempit ketika kelompok
ini bergerak ke atas dalam dunia kerja (Bureau of Labor Statistics, 2001a).
Diperkirakan sepertiga mahasiswa penuh
waktu (full-time) dan dua pertiga mahasiswa paruh waktu (part-time) bekerja
untuk membantu mem ayar
uang kuliah mereka. Bagaimana bekerja sambil belajar dapat memengaruhi
perkembangan kognitif dan persiapan karier? Sebuah studi longitudinal meneliti
sampel acak pendapatan mahasiswa usia 23 tahun yang duduk di tahun ke dua dan
keempat perguruan tinggi di 16 negara bagian sepanjang tiga tahun pertama mereka
di perguruan tinggi tersebut. Tiap tahun mahasiswa mengikuti ujian keterampilan
membaca, pemikiran matematis, dan pemikiran kritis. Sepanjang dua tahun
pertama, bekerja sambil kuliah atau tidak bekerja sama sekali hanya memiliki
sedikit efek atau tidak memiliki efek sama sekali terhadap hasil tes. Pada
tahun ketiga, mereka yang bekerja paruh waktu memiliki efek positif, mungkin
dikarenakan pekerjaan memaksa mahasiswa untuk mengorganisir waktu mereka
secara efisien dan belajar kebiasaan bekerja yang lebih baik. Akan tetapi,
bekerja di dalam kampus lebih dari 15 jam per minggu atau bekerja di luar
kampus lebih dari 20 jam per minggu cenderung menimbulkan pengaruh negatif
(Pascarella, Edison, Nora, Hagedorn, & Terenzini, 1998).
Proporsi yang lebih tinggi-80 persen—mahasiswa pasta sarjana dan
profesional bekerja, 63 persen di antara mereka bekerja penuh waktu dan
berkesinambungan. Sekitar 70 persen mahasiswa yang bekerja menyatakan bahwa
pekerjaan membantu mereka mempersiapkan karier. Akan tetapi, mereka juga
melaporkan kemunduran, seperti keterbatasan terhadap jadwal dan jumlah serta
pilihan kelas (Snyder & Hoffman, 2002).
Kompleksitas Kognitif Pekerjaan
Sifat pekerjaan sedang berubah. Pada 2000,
ada sekitar empat kali lipat orang Amerika yang berada di pekerjaan sektor jasa
dan retail (61 juta tenaga kerja) dibandingkan yang berada di manufaktur (18,4
juta) (Bureau of Labor Statistics, 2001b). Kesepakatan kerja menjadi lebih
bervariasi dan kurang stabil. Semakin banyak orang dewasa yang berwiraswasta,
bekerja di rumah, telecommuting, atau jadwal kerja yang fleksibel, atau
bertindak sebagai kontraktor independen (Clay, 1998; McGuire, 1998; Bureau of
Labor Statistics, 1998).
Apakah orang berubah sebagai hasil jenis
pekerjaan yang mereka lakukan? Sebagian riset menjawab "ya":
orang-orang tampaknya tumbuh dalam pekerjaan yang menantang, jenis yang menjadi
semakin umum pada sat ini. Kombinasi dari studi lintas seksional dan studi
longitudinal (Kohn, 1980) mengungkapkan hubungan resiprokal antara kompleksitas
substantif pekerjaan—tingkat pemikiran dan penilaian independen—dan
fleksibelitas seseorang dalam menghadapi tuntutan kognitif (Kohn, 1990).
Riset otak memberikan penjelasan bagaimana orang menghadapi pekerjaan
yang kompleks. Perkembangan yang sempurna dalam lobus frontal pada masa
dewasa awal telah memungkin orang untuk melakukan beberapa pekerjaan dalam satu
waktu. Magnetic resonance imaging mengungkapkan bagian paling depan
lobus frontal, fronto-polar prefrontal cortex (FPPC), memiliki fungsi
khusus dalam memecahkan masalah dan perencanaan.
FPpC mewujud menjadi tindakan ketika orang
tersebut ingin "menunda" tugas yang belum terselesaikan dan
memindahkan perhtian ke tugas lainsebuah proses yang disebut branching. FPPC
memungkinkan seseorang untuk menjaga pekerjaan pertamanya terus bekerja claim
memori ketika melakukan pekerjaan yang kedua—misalnya, untuk melanjutkan pembacaan
laporan setelah terpotong oleh telepon (Koechlin, Basso, Pietrini, Panzer,
& Grafman, 1999).
Pertumbuhan kognitif
tidak berhenti pada akhir hari kerja. Merujuk hipotesis spillover (perembesan),
kognisi yang didapat dari kerja terus dibawa hingga jam di luar jam kerja.
Studi mendukung hipotesI ini: kompleksitas substantif pekerjaan amat
memengaruhi level intelektual aktivitas bersantai (Kohn, 1980; K. Miller &
Kohn, 1983).
Pendidikan dan Literasi Orang Dewasa
Sekitar 48 persen orang dewasa di Amerika Serikat berpartisipasi
dalam aktivitas pendidikan. Tiga dari empat orang inengambil pelajaran dari institusi
perguruan tinggi dan sisinya dari organisasi bisnis atau yang lainnya (NCES
Digest, 2001.
Banyak orang dewasa
ini yang berusaha meningkatkan keterampilan kerja mereka. Banyak pendidikan dan
pelatihan yang berkaitan dengan pekerjaan ini yang didukung oleh perusahaan
(Kopka, Schantz, & Korb, 1998)—dan demi alasan yang bagus. Sebagian besar
pekerjaan, terutama yang bergaji besar, yang tidak mensyaratkan gelar
kesarjanaan, mensyaratkan pelatihan kerja (Bureae of Labor Standars,
2000-2001). Perusahaan melihat keuntungan dari pendidikan di tempat kerja dalam
meningkatkan moral, kualitas kerja yang meningkat, kerja tim dan pemecahan
masalah yang semakin baik, dan kemampuan yang makin besar dalam menguasai
teknologi barn dan perubahan lain di tempat kerja. Para pekerja juga mendapatkan
manfaat dalam keterampilan dasar seperti membaca, berhitung, dan pemikiran
kritis (Conference Board, 1999).
Literasi merupakan
persyaratan fundamental untuk berpartisipasi bukan hanya di tempat kerja tapi
juga dalam segala segi masyarakat informasi modern. Orang dewasa terpelajar
adalah mereka yang dapat menggunakan informasi cetak dan tertulis untuk
beraktivitas dalam masyarakat, mencapai target mereka, dan mengembangkan
pengetahuan dan potensi rnereka. Pada akhir abad yang lalu, seseorang yang
berada di tingkat keempat sudah dipandang terpelajar; pada saat ini, tamatan
SMA saja sudah hampir tidak dapat dikategorikan terpelajar.
Hampir setengah orang dewasa AS. tidak dapat memahami materi
tertulis, memanipulasi angka, dan menggunakan dokumen cukup baik untuk dapat
sukses dalam ekonomi saat ini. Temuan ini bersumber dari analisa survei
internasional dan nasional yang dilakukan Educational Testing Service (ETS)
sepanjang 1990-an (Sum, Kirsch, & Taggart, 2002).
Dalam perbandingan literasi orang dewasa di
17 negara industrialis ber-pendapatan tinggi, kinerja orang dewasa AS hanya
sedang-sedang saja, sedikit lebih tinggi dari rata-rata negara yang
betpartisipasi.• Kenyataan ini benar adanya walaupun AS. memberikan anggaran
lebih besar pada pendidikan dibandingkan hampir seluruh negara partisipan (Sum et
at., 2002) dan memiliki tingkat lulusan pendidikan tinggi yang lebih
tinggi dibandingkan banyak negara partisipan lain (NCES Digest, 2001).
Survei literasi mengungkapkan disparitas
internal yang sangat lebar. AS. diperingkatkan hampir pada puncak
negara-negara dengan orang dewasa berliterasi terendah tapi pada saat
yang sama juga pada orang dewasa berliterasi paling tinggi (Sum et al., 2002).
Sebagaimana yang
diperkirakan, survei internasional tersebut mengungkapkan bahwa literasi
berkaitan langsung dengan status pekerjaan dan pendapatan; pekerja yang kurang
terpelajar berada di pekerjaan kasar atau menganggur atau keluar dari tenaga
kerja; sedangkan mereka dengan tingkat literasi yang tinggi memegang posisi
profesional atau manajerial (Binkley, Matheson, & Williams, 1997). Bagi
pelaku ujian AS., faktor tunggal terpenting dalam literasi adalah level
pencapaian pendidikan, dan disparitas yang didasarkan pada pendidikan lebih
besar dibandingkan negara lain. Lulusan perguruan tinggi AS. melakukan tes
literasi dengan lebih baik dibandingkan lulusan perguruan tinggi di negara lain
kecuali Belgia; akan tetapi mereka yang berhenti sekolah di AS. melakukannya
lebih buruk dibandingkan negara berpenghasilan tinggi Iainnya (NCES, 1999).
Secara global, hampir
satu miliar orang dewasa masih buta huruf (UNESCO, 1998). Buta huruf biasnaya
umum ditemukan di kalangan wanita di negara berkembang, di mana pendidikan
dianggap tidak penting bagi perempuan. Pada 1990, PBB meluncurkan program
pemberantasan buta huruf di negara berkembang seperti Bangladesh, Nepal,
Somalia (Linder, 1990). Di AS., National Lieteracy Act mengharuskan negara
bagian mendirikan pusat pelatihan
dengan bantuan dana federal.
Melek teknologi semakin merupakan keharusan
untuk mendapatkan kesuksesan di dunia modern. Peningkatan dalam penggunaan
Internet merupakan fenomena global. Lebih dari setengah orang Amerika menggunakan
Internet, dan lebih dari dua juta orang go-online pertama kali dalam
satu bulan. Dalam satu tahun, antara Agustus 2000 dan September 2001,
penggunaan internet pada tempat bekerja di kalangan pekerja dewasa berusia 25
tahun meningkat dari 26,1 persen menjadi 41,7 persen. Orang dewasa awal dan
pertengahan berkecenderungan lebih besar menggunakan internet dan e-mail di
tempat kerja dibandingkan pekerja dengan usia yang lebih tua (Department of
Commerce, 2002).
0 comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar anda.
Komentar anda sangat dibutuhkan, untuk meningkatkan kualitas postingan kami .